Menua Sungai Utik adalah sebuah kampung (menua=kampung) yang dihuni oleh masyarakat adat Dayak Iban. Secara kewilayahan adat, Menua Sungai Utik merupakan bagian dari Ketemenggungan Jalai Lintang bersama dengan 6 (enam) menua lainnya yaitu : Menua Iban Kulan, Menua Iban Ungak, Menua Apan, Lauk Rugun, Mungguk dan Sungai Tebelian. Secara administrasi Menua Sungai Utik berada di Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat. Menua Sungai Utik merupakan bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, tepatnya berada diantara Sungai Cemeru dan Sungai Palin.
Hidup komunal dan menghuni rumah panjang/betang atau dalam bahasa Iban disebut Rumah Panjae (betang). Rumah Panjae ini terdiri dari 28 bilik yang dihuni oleh setiap keluarga. Lokasinya tidak terlalu jauh dari sungai, hal ini karena sungai mempunyai peranan penting bagi kehidupan masyarakat di Menua Sungai Utik. Rumah Panjae Sungai Utik terletak di tepi Sungai Utik yang mengalir ke arah selatan yang bermuara ke Sungai Cemeru, Sungai Palin, Sungai Ulak Paok, Sungai Embaloh dan selanjutnya bermuara di Sungai Kapuas. Selain rumah panjang, terdapat sejumlah fasilitas umum di Menua Sungai Utik, antara lain: Gereja, CU Keling Kumang, Puskesmas, Bumdes, PAUD, Posyandu, SD, SMP Satu Atap, Perumahan Guru, Gedung Serbaguna, Posyandu, dan Rumah Budaya.
Saat ini sebanyak 86 KK dengan total penduduk sebanyak 299 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 134 dan perempuan sebanyak 165 jiwa. Mayoritas penduduk Menua Sungai Utik memeluk agama Katolik, namun ada juga agama lain seperti Islam, Protestan dan menganut agama kepercayaan yang dalam bahasa Iban disebut dengan Pengarap Lama.
Masyarakat Adat Dayak Iban Menua Sungai Utik telah menempuh perjuangan panjang dalam mempertahankan, mengelola, dan melindungi keberadaan ruang hidup dan kesatuan sosial komunitas yang hidup di rumah betang. Ruang hidup dalam wujud yang lebih sederhana tergambar dalam peta wilayah adat yang yang menggambarkan bagaimana masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik mengelola wilayah adat dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya dengan arif dan berkelanjutan.
Dalam rentang waktu tiga tahun terakhir, masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik mendapat penghargaan Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), disusul kemudian pada tahun 2019, mendapatkan kembali penghargaan Equator Prize dari Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Tidak hanya sampai di situ, perjuangan mereka agar keberadaan dan ruang hidupnya diakui oleh pemerintah daerah pun membuahkan hasil seperti yang diharapkan, terbukti dengan terbitnya Surat Keputusan Pengakuan Masyarakat Adat oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu tahun 2019 dan Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat oleh Kementrian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020. Semua penghargaan itu merupakan perjuangan selama kurun waktu kurang lebih 40 tahun.
Adanya pengakuan wilayah adat dan hutan adat masyarakat adat Dayak Iban Menua Sungai Utik tak terlepas dari kuatnya mereka memegang teguh filosofi hidup warisan para leluhurnya, “Tanah to indae kitae, kampuang to apay kitae” (tanah ini ibu kami, hutan ini ayah kami). Perjalanan panjang perjuangan bersama juga semakin meneguhkan keinginan bersama untuk mewujudkan kehidupan yang lestari, mandiri dan sejahtera. Keinginan ini kemudian dituangkan dalam sebuah dokumen yaitu Perencanaan Wilayah Adat Menua Sungai Utik yang disusun bersama sebagai alat kontrol dalam mengelola ruang hidup berdasarkan kearifan lokal. Semua kegiatan dan program yang akan dilakukan hendaknya selaras dengan rencana jangka panjang yang ada. Saat ini melalui Gerempong Menua Judan, masyarakat adat mengelola berbagai kegiatan bersama berbagai pihak baik pribadi maupun lembaga untuk mewujudkan cita-cita jangka panjang tersebut.